Karya: Fitria Wulandari
“Tap...
tap.. tap..” Bunyi langkah kakiku yang berjalan menuju sekolah, tak begitu jauh
dari rumahku. Tapi itu menurutku. Ya memang selalu seperti ini, aku setiap
hari selalu berjalan kaki menuju sekolah. Aku tak mau diantar oleh Ayahku yang
selalu menawarkan tumpangan dimobil mewahnya. Sambil berjalan, aku kembali
teringat dengan kejadian yang terjadi pagi tadi.
Pagi
tadi, sekitar jam 5 aku terbangun karena mendengar tangisan ibuku. Aku keluar
kamar untuk melihat apa yang terjadi. Aku melihat mata ibuku biru lebam dan
beberapa luka memar di sekitar wajah dan tangannya. Tak begitu mengejutkanku,
itu sudah sering terjadi. Aku hanya bisa meminta pertolongan Tuhan agar
penderitaan ibuku yang disebabkan oleh lelaki itu segera berakhir.
Lelaki
itu, ah aku sangat malu mengakuinya sebagai Ayahku. Bukan karena dia tak tampan rupawan, tetapi dia selalu menyiksa Ibuku. Hampir setiap pagi aku tak
pernah melihatnya tak menyiksa Ibuku, entah apa salah Ibu. Aku benar-benar tak
suka itu. Tapi apa mau dikata, dia Ayahku. Sudah beribu kali kusarankan Ibu
untuk menceraikannya, tapi Ibu hanya tersenyum dan berkata, “Tak apa-apa.
Namanya juga berkeluarga, cek-cok itu biasa.” Entah terlalu cinta padanya atau karena
Ibu terlalu bodoh.